Kamis, 14 Juni 2012

Dalai Lama Sang pemimpin Spiritual Tibet


     Anda kenal sosok Dalai Lama, beliau ada seorang peraih nobel perdamaian pada tahun 1989. Dalai Lama juga merupakan sumber inspirasi bagi nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Dalam keyakinan Budha Mahayana, satu dari dua sekte besar Budhisme, para pemimpin agama akan mengalami reinkarnasi dan mereka sendiri yang dapat mengendalikan prosesnya. Selama reinkarnasi  Dalai Lama belum ditemukan, maka pemerintahan Tibet dipimpin oleh seorang wali.

     Melanjutkan tradisi yang telah berjalan selama berabad-abad, seperti terurai dalam buku Reincarnation yang ditulis wartawati Daily Mail Vicki Mackenzie, orang-orang bijak dan para pertapa Budhis mulai mencari tanda-tanda datangnya dewa-raja yang akan memimpin mereka dimasa yang akan datang. Suatu ketika, sang wali pergi menuju telaga sacral, Lhamo Namtso, 140 km ditenggara Lhasa, tempat “orang-orang pintar” menatap kedalam air untuk memperoleh gambaran tentang masa depan.

     Saat sang wali menatap ketelaga-sementara angin bertiup dan air telaga yang biru berubah menjadi putih- ia melihat gambaran dari suatu tempat, dimana pohon persik sedang berbunga dan seorang wanita sedang menggendong bayi. Wali pun mahfum, ia telah melihat pemimpinnya dimasa depan. Tahun 1950, Tenzin Gyatso atau Dalai Lama ke-14 menjadi kepala Negara dalam usia 15 tahun.

     Proses kekuasaan di Tibet memang melampaui pemahaman manusia. Namun, Dalai Lama bukanlah cerita dongeng. Ia ada di dunia nyata dan harus berhadapan dengan problematika kekinian. Dalai lama bukanlah seorang yang gagah perkasa, karena ia juga tak berdaya menghadapi invasi kekuasaan cina, bahkan ketika mao Zedong masih berkuasa Dalai lama hanya berstatus pengungsi di Dharamsala, india.

    Pesan kuat dari kehendak Dalai Lama adalah: justru rakyat Tibet yang harus berperan menghadapai pendudukan cina dan genosida budaya. Dalai Lama ingin menempatkan perjuangan dalam ruang yang lebih luas, perjuangan menghadapi pemberangusan peradaban, genosida budaya, serta pelanggaran nilai kemanusiaan, memang harus ditempatkan dalam skala yang luas. Ia bukan lagi tugas individu atau komunitas, tetapi semesta manusia.

Sumber: blog.liputan6.com 

0 komentar:

Posting Komentar